Beginilah Kenyataan Pluralisme Di Lasem


Beginilah Kenyataan Pluralisme Di Lasem - Banyak konflik terpicu karena perbedaan, banyak kesenjangan timbul hanya karena kita tak bisa membedakan perasaan dan logika, tak mampu terbuka dengan suatu hal yang baru dan keberagaman. Dan peningkatan akan kesadaran keberagaman ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat di Indonesia secara khusus.
Di Lasem Pluralism Trail ini saya dapat melihat bagaimana pluralism memang terwujud sudah sejak lama. Terlebih Lasem adalah tempat yang tak porak poranda sewaktu kerusuhan 1998 terjadi. Mungkin ada rasa iri dalam hati saya, “Kenapa saya tak terlahir di kota ini?”. Namun apa boleh buat, selalu ada rencana menarik dari setiap kehendak Sang Pencipta untuk umatnya. Setidaknya kehidupan multikultural di Lasem dapat menjadi satu percontohan bagi warga masyarakat di kota lain.
Semula saya merasa ragu, “Apa iya sih di Lasem ini pluralism benar-benar terwujud?”. Dan setelah melalui 3 hari kegiatan Lasem Pluralism Trail, perlahan keraguan memudar. Karena saya menemukan banyak fakta dan kesaksian yang cukup mencengangkan. Misalnya saja saat mengunjungi Pabrik Roti Indonesia, semua peserta dipertemukan dengan ibu Ratna Moestopo. Wanita yang lahir dari keluarga etnis Tionghoa pada 72 tahun silam itu bercerita, bagaimana dia tumbuh dan berkembang di lingkungan Indonesia. Bahkan semasa sekolah dia bersekolah di sekolah umum bukan sekolah khusus anak-anak Tionghoa, jadi wajar jika dia pun mengaku tidak bisa berbahasa mandarin apalagi menulis dengan tulisan kanji. Ibu Ratna justru lebih fasih berbahasa Jawa dan menulis aksara Jawa. Selain itu, ia pun tak pernah merasa bahwa orang sekitar mendiskriminasinya karena dia memiliki ciri fisik sebagai etnis Tionghoa, tak terjadi hal itu di Lasem.
Wah, ini sangat menarik. Karena setahu saya, di lingkungan saya di Cilacap, untuk ukuran orang seumuran dia, di zaman itu pasti sempat bersekolah di sekolah khusus warga etnis Tionghoa. Mempelajari bahasa Mandarin dan segalanya. Bahkan di masa saat ini, anak-anak keturunan etnis Tionghoa lebih memilih disekolahkan di sekolah Katolik atau Kristen, karena risiko besar jika dimasukan ke sekolah negeri. Dan jelas saja diskriminasi ya sudah pasti terjadi.
Hal serupa yang membuat saya cukup tercengang adalah mengenai pengakuan yang diungkapkan oleh Bapak Sigit Witjaksono dari Rumah Batik Sekar Kencana. Beliau yang berusia 88 tahun itu memiliki seorang istri yang kental dengan etnis Jawa dan Muslim. Anak serta cucu nya pun beberapa menganut agama Islam. Beragam kisah perjuangannya seputar akulturasi kebudayaan, bahkan perjuangannya menikahi sang pujaan hati cukup menarik. Mulai dari penolakan keluarga sang wanita yang tergolong priyayi, hingga keberanian pak Sigit membawa sang pujaan hati untuk menikah.
Ini sangat menarik, karena biasanya pernikahan antar etnis di jaman dulu sangatlah jarang. Misalnya di era kakek dan nenek saya, mereka cenderung menikah dengan sesama etnis Tionghoa. Karena mereka percaya bahwa jika dilanggar, maka hal ituakan berpengaruh pada rejeki di masa depan. Ya, mitos semacam ini memang kental diyakini kebenarannya bagi etnis Tionghoa. Berbeda untuk jaman sekarang, menikah dengan lain etnis sudah bisa dimaklum dan diijinkan.
Lasem memang sangat berbeda dengan Cilacap. Di sini saya bisa melihat banyak orang berbaur, warga dengan etnis Tionghoa bukanlah hal yang eksklusif di sini. Misalnya dalam satu kelurahan Lasem, ada banyak percampuran yang terjadi, mulai dari ketua RT, warga setempat, pedagang-pedangan, dll. Sangat berbeda dengan kota Cilacap, warga etnis Tionghoa lebih dianggap eksklusif dan cenderung berjarak. Hampir 90% warga etnis Tionghoa bertempat tinggal di pusat kota yang bentuknya pertokoan. Dan keberadaan kelenteng di Cilacap adalah untuk ibadah umat Konghucu, berbeda dengan di Lasem, Kelenteng Cu An Kiong justru dijadikan tempat kunjungan umum, dan untuk ibadah umat Konghucu disediakan tempat sendiri yang berjarak tak jauh dari kelenteng. Kembali lagike Cilacap, mengenai tempat tinggal, jadi sepanjang Jalan Ahmad Yani yang tak lain merupakan jantung kota Cilacap, bagian pinggir jalannya dihuni oleh mereka yang beretnis Tionghoa, dan semua rumah adalah toko (ruko), sedangkan yang masuk ke gang-gang barulah warga etnis Jawa. Bahkan di kelurahan tempat saya tinggal hanya ada 4 rumah keluarga etnis Tionghoa, dan dari 4 itu semuanya masih bersaudara.
Pintu gerbang kelenteng di Lasem
Jadi, melalui Lasem Pluralism Trail ini saya benar-benar merasa WOW sekali. Lasem memang layak disebut sebagai tempatnya Pluralisme, dan ini sangat-sangat membuat saya berpikir “Anak-anak di sini pasti tidak pernah di bully karena mereka lahir di keluarga beretnis Tionghoa.”
Beginilah Indonesia seharusnya, saling menghargai dan saling menjaga keberagaman, karena pada dasarnya manusia terlahir dari keberagaman, dan tak ada yang seragam di dunia ini, bahkan untuk mereka yang katanya kembar identik sekalipun.




Comments

  1. I like what you are doing, mpo99 it will be a very good thing

    ReplyDelete
  2. Mempersembahkan kepada anda terutama bagi orang Indonesia yang sedang mencari situs slot online. Asiaplay99 memberikan anda promo-promo menarik dengan permainan terlengkap.

    * BONUS FREEBET 30RB (Min. Deposit 50RB)
    * EXTRA BONUS 200% (SPORTSBOOK/SLOT/CASINO)
    * WELCOME BONUS 100% (SPORTSBOOK)
    * BONUS DEPOSIT HARIAN 10%
    * CASHBACK 15%
    * KOMISI MINGGUAN TERBESAR HINGGA 1%
    * BONUS REFERRAL 9%

    (SLOT, SPORTS, CASINO, TEMBAK IKAN, POKER, TOGEL, DAN MASIH BANYAK LAGI)

    Menerima segala jenis deposit: Setor Tunai, Transfer Antar bank, Deposit Pulsa, Deposit OVO.

    Whatsapp: +639957922906
    Layanan Livechat 24jam: https://direct.lc.chat/11116377/

    ReplyDelete

Post a Comment