Dan yakin deh, ada rasa kesal pasti saat sudah berjalan jauh, tiba-tiba lihat jalan tidak bisa dilalui. Harus putat balik atau mencari jalan alternatif yang lebih jauh.
Sebagai seseorang yang juga sudah menikah, tentu saja paham bahwa memang setiap orang menginginkan pernikahan yang berkesan dalam hidup mereka.
Tapi tak semua orang menginginkan pesta meriah untuk pernikahannya. Alhamdulillah nya, saat saya menikah, semua digelar sederhana, bahkan orang tua saya pun tak menggelar pesta pernikahan.
Karena memang ada dan tradisi pernikahan di daerah saya itu unik. Ada tradisi "mengembalikan" atau "hutang" jika menggelar pernikahan. Jadi ya, karena tak mau merasa dihutangi, kami tak menggelar pesta atau menerima kunjungan tamu, hanya memberikan semampu kami pada tetangga sebagai ucapan syukur sekaligus "informasi".
Tapi berbeda dengan keluarga suami saya yang memang jumlahnya lebih banyak, dan ingin menggelar pesta sebagai ucapan syukur. Saya dan suami yang sebenarnya menginginkan kesederhanaan pun akhirnya mengiyakan, asal dilakukan sesederhana mungkin.
Dan beruntungnya pesta pernikahan digelar sederhana, di depan rumah, dengan area tanah milik sendiri. Meski tanah milik sendiri, namun sudah dijadikan jalan umum, karena di dalam gang tentu saja awalnya tak ada akses jalan jika bukan warga yang memberikan tanah mereka sebagai akses jalan.
Kenapa saya menceritakan pernikahan saya? Karena tentu saja saat akan "mengomentari" orang lain, saya harus menilai diri sendiri.
Terlebih saat ada yang berpikir "Pernikahanmu juga menutup jalan orang!"
Meski saya yakinkan tak ada gang yang ditutup saat pernikahan saya. Yakali kalau gang ditutup kalian mau lewat mana?
Nah kembali lagi, tak sekali dua kali kejadian mutar balik itu dirasakan saat melalui jalan yang notabene jalan utama jalan raya yang di tutup full untuk merayakan sebuah pesta pernikahan pribadi.
Tentu saja mereka mungkin sudah berdalih, ada ijin yang sudah disetujui. Tapi ijinnya kemana? Ke setiap orang yang dongkol karena perjalanan terganggu, atau ke warga setempat, ke pengurus desa setempat, dll.
Karena pada dasarnya yang memakai jalan itu tidak hanya orang orang itu kan? Ada orang luar kota atau mungkin orang daerah lain yang tak mengetahui kalau ada raja dan ratu yang sedang duduk manis di pelaminan yang bertengger di tengah jalan. Dan membuat mereka terpaksa harus putar balik, atau mencari jalan alternatif.
Ya, kalau kondisinya lagi biasa biasa saja, tapi kalau sedang buru-buru atau darurat, bagaimana?
Disinilah kita melihat, ada hak hak orang lain yang kita ambil jika nekat menggelar pernikahan sampai menutup jalan raya atau jalan umum.
Ada empati yang sangat kurang memang di tengah masyarakat kita saat ini. Kita abai pada kepentingan dan hak orang lain, dan cenderung mengedepankan ego.
Loh, hal itu kan sudah biasa dilakukan?
Betul, memang sudah biasa dilakukan. Hal yang tak mencerminkan empati ini sudah biasa, namun hal yang sudah biasa dilakukan dan seolah mencari pembenaran.
Jalan raya yang menjadi fasilitas umum dan milik bersama masyarakat yang sudah membayar pajak ini menjadi monopoli oknum tertentu.
Tak sedikit memang oknum orang yang ingin menggelar pesta pernikahan agak megah tapi tidak memiliki cukup modal untuk menyewa gedung. Alhasil, mereka mengambil hak pengendara dalam menggunakan jalan raya.
Meski sebenarnya tak harus di gedung juga, paling nggak di lapangan desa deh kalau mau bikin tenda megah.
Setiap orang memiliki pendapat kan, bedanya ada yang menafikan pendapat mereka, tapi ada yang mencoba mengutarakan isi pikiran mereka.
Saya mencoba menjabarkan pendapat dan pandangan saya sebagai pengguna jalan yang sudah taat membayar pajak, dan tak menggelar resepsi pernikahan dengan menutup jalan raya umum.
Saya juga tidak peduli apabila di antara kalian ada yang berdalih bahwa hal ini sah-sah saja asalkan mendapat persetujuan kepolisian.
Kejadian terbarunya.
Mengingat sudah 4 hari jalan utama di desa tempat saya tinggal ditutup, karena ada hajatan yang digelar. Mereka tak memberikan akses, meski untuk pejalan kaki sekalipun. Perasaan pertama pasti kaget, harus putar balik, tak hanya saya yang mengalami ini. Harus cari jalan tikus sambil menggerutu karena kesal, dan saya yakin bukan hanya saya seorang yang merasakan hal ini.
Nah, kumpulan "kegundahan" orang orang ini lah yang mengiringi sebuah pesta pernikahan yang digelar hingga menutup jalan raya utama. Sedangkan si raja dan ratu asik asik mejeng di pelaminan. Apa ia tak ada rasa bersalah sedikit pun?
Hati nurani kalian dimana?
Cermin minusnya empati ini pasti dikarenakan karena terlalu seringnya bercermin di air keruh, sehingga melihat hal tak elok dan melakukan keegoisan sudahlah hal yang biasa dilakukan.
Bukan soal pemakluman, karena jika pemakluman terus dilakukan pada hal hal seperti ini, maka kasarannya nih lama kelamaan hamil di luar nikah pun akan menjadi hal yang patut dimaklumi. Orang mencuri dimaklumi, begal pun harus dimaklumi?
Bagaimana dengan acara duka?
Ya, kalau untuk acara duka, kita masihlah layak dan harus memaklumi, tapi ini acara pesta, ditengah pandemi pula. Dimana masyarakat sebaiknya mengurangi kegiatan semacam ini.
Saya memang bukan ahli dalam agama, jadi tak banyak pendapat saya yang dilatar belakangi atau berdasarkan pada kitab suci. Namun percaya deh, saat kita mencoba bersimpati, memberikan empati pada orang lain, ajaran agama pun pasti mengiyakan.
Bagaimana kita bisa dihargai? Adalah dengan menghargai hak-hak orang lain. Bukan meminta pemakluman demi kepentingan pribadi yang sangat lucu.
Comments
Post a Comment