Lahir, Tumbuh, Dan Berkembang di Tengah Perbedaan Itu Menantang
Beberapa hari
lalu saya melihat sebuah video di situs berbagi video Youtube. Ada beragam sosok yang muncul dalam video berdurasi 2:59
menit itu, mulai dari dia yang bermata lebar, berkulit hitam, berambut kriting,
berkulit putih, hingga yang bermata sipit. Semua berbicara, dan semua yang
mereka ungkapkan adalah mengenai satu hal, bahwa kita bukan mayoritas dan kita
bukan minoritas, tapi kita adalah Indonesia.
Sederhana, simple, dan membuat saya tersenyum
hingga hampir berair mata. Dalam hati saya hanya bergumam “Andai bisa seperti
itu, andai semua orang berpikiran sama seperti itu, tentu akan sangat nyaman
dan damai dunia ini.”
Saya terlahir
di Indonesia, tepatnya di Cilacap, di selatan Provinsi Jawa Tengah yang sangat
dekat dengan pantai, dan saya adalah orang Indonesia. Semua terasa baik-baik
saja dalam hidup saya, tak ada yang membuat saya beralasan untuk tidak
mencintai Indonesia apalagi pergi dari Indonesia.
Source: Nabil Foundation |
Saya terlahir
di keluarga yang heterogen dalam hal agama, dan etnis, kakek buyut saya beretnis
Tionghoa dan penganut Konghucu. Kakek saya awalnya penganut Buddha, hingga
akhirnya seiring berjalannya waktu hingga kematiannya ia yakin bahwa Kristen
adalah agama yang diimaninya. Sedangkan ayah saya yang jelas beretnis Tionghoa,
adalah seorang Kristen sebelum akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam
saat menikah dengan ibu saya. Ibu saya dibesarkan di keluarga Islam yang kuat dengan budaya Sunda. Ia menganut Islam sejak lahir. Entah bagaimana menceritakan
kompleksitas keluarga saya.
Semuanya
biasa saja dan tak aneh, setidaknya itu saya rasakan hingga usia saya mencapai
9 tahun. Namun, saat saya sudah duduk di bangku sekolah dasar, mulai ada
keinginan dan angan-angan saya untuk tinggal di negara lain selain Indonesia,
karena sepertinya lebih "menyenangkan". Bukan tanpa alasan saya
memikirkan hal ini.
Ketika duduk
di bangku sekolah dasar negeri yang
notabene mayoritas siswanya adalah masyarakat setempat, beretnis Jawa, dan beragama
Islam. Maklum sekolah swasta yang biasa menjadi rujukan sekolah anak-anak
beretnis Tionghoa jaraknya cukup jauh dari rumah saya saat itu.
Saat itu
sekitar tahun 1997-1999, saya yang beragama Kristen ini selalu dirundung di
sekolah. Teman-teman saya selalu bilang bahwa “Orang Kristen itu matinya disalib! ". Wah, anak kecil mana
yang tak ngeri mendengarnya. Selain Kristen, kebetulan orang tua saya beretnis
Tionghoa. Jadi lengkaplah bahan ejekan teman-teman sekolah saya pada saat itu.
"Cina Lole!" , begitu lontaran “cibiran” mereka pada saya.
Entah apa maksudnya. Sebenarnya saya tak begitu ambil pusing karena awalnya saya
tidak paham.
Kian hari
saya semakin merasa berbeda. Saya pun berkeluh kesah pada keluarga saya. Saya
bertanya pada ayah saya, “Apa salah jika
saya beragama Kristen?.” Ayah saya
yang pada saat itu adalah seorang mualaf menjawab, “Tidak ada yang salah, asalkan kamu menjalaninya dengan baik dan
benar.”
Kalimat ayah
membuat saya menjadi lebih tenang. Ayah tak memaksa saya mengikuti kepercayaan
yang dia anut, meski wajarnya anak-anak akan mengikuti kepercayaan orang tuanya.
Tapi bukannya tak wajar, karena keluarga saya sangat menghargai pilihan
pribadi; mereka memberikan kebebasan secara bertanggungjawab untuk memilih
agama. Kami memahami keberagaman karena saat itu kami tinggal bersama di rumah
keluarga besar yang heterogen.
Beranjak
dewasa, saya menyadari bahwa saya adalah anak yang terlahir dari keluarga Tionghoa,
sedangkan lingkungan tetangga tempat saya tinggal mayoritas beretnis Jawa. Saking
seringnya diejek, saya pernah berkhayal menjadi orang Indonesia yang terlahir
dari etnis Jawa. Sebagai anak kecil, pada saat itu saya sempat menghujat “Mengapa saya terlahir dengan garis
keturunan yang berbeda dengan teman-teman saya?”
Saya tumbuh
menjadi pribadi yang “kurang bersyukur” dengan agama dan tampilan fisik saya yang
memang berbeda dari tetangga dan teman-teman
sekolah. Saya tidak tahu, apakah hanya saya yang berada di lingkungan tempat
tinggal tertentu itu yang mengalami cemoohan, atau memang semua anak yang terlahir dengan
mata sipit menjadi objek cemoohan. Lagi-lagi
saya menyesali diri, mengapa saya tidak terlahir dari keluarga Jawa tulen (demikian teman-teman saya menyebut diri
mereka).
Teman-teman
saya memanggil orang tua mereka dengan istilah “mamak”, “biyung”, “rama”, dll. Mereka memanggil orang tua, nenek,
dan kakek mereka dengan istilah-istilah yang berbeda dengan saya. Saya memanggil
orang tua saya dengan “mamah” dan “papah”. Kembali saya kembali merasa
berbeda, “Mengapa saya tak memanggil orang tua saya sama dengan teman-teman
saya?”. Sampai akhirnya saya bilang pada Mamah, bahwa saya ingin memanggilnya
dengan sebutan “mamak”, agar saya
bisa menjadi bagian dari “mayoritas” dan sama dengan teman-teman saya lainnya.
Tapi sayang, upaya saya tak berhasil. Nyatanya mengubah kebiasaan sejak lahir
tak semudah membalikkan telapak tangan.
Tak hanya
itu, saya pun saat itu sempat memutuskan untuk pergi ke masjid, ikut mengaji,
tujuannya tak lain agar saya tak lagi dirundung karena agama yang berbeda. Sederhana
sekali pemikiran seorang anak kecil, tak ada idealisme untuk mempertahankan
kepercayaannya. Hanya ada keinginan untuk bebas dari ejekan dan ingin menjadi
sama seperti yang lain. Tetapi saya kembali menelan pil kekecewaan, karena
alih-alih disambut gembira dengan tangan terbuka, teman-teman di masjid justru mendapatkan
bahan ejekan baru, “Cina kok Islam sih ! ”
.
Rasa-rasanya
saya ingin menenggelamkan diri di dasar sungai es; membiarkan diri saya beku, dan awet agar saya
terbebas dari sasaran tembak. Sebagai “minoritas” saya sudah berusaha semaksimal
mungkin mengikuti arus, agar saya bisa diterima menjadi bagian dari mereka yang
merasa “mayoritas”.
Saya
kesal! Apa-apan mereka ini? Saya jadi Kristen, dirundung, ketika berusaha
menjadi Islam pun masih dirundung. Akhirnya saya memutuskan kembali ke gereja.
Orang-orang di gereja menyebut saya “domba
yang hilang”.
Untuk mencegah
“masalah” yang saya alami di Sekolah Dasar terulang kembali, pada tingkat
Sekolah Menengah Pertama, orang tua saya memutuskan mengirim saya ke sekolah
swasta yang mayoritas siswanya adalah anak-anak Tionghoa, dengan agama
mayoritas Katolik dan Kristen, ada juga beberapa siswa yang beragama Islam. Yang
jelas, sekolah tersebut menghargai keberagaman.
Saya pikir
itu adalah salah satu solusi yang orang tua berikan untuk saya, agar saya
terhindar dari rundungan teman-teman di sekolah. Saya bersyukur karena orang
tua tidak memaksa saya beragama sama dengan mereka. Mereka berusaha menguatkan
saya dengan cara yang tepat.
Seiring
berjalannya waktu, saya semakin memiliki pemikiran yang luas mengenai
perbedaan. Perlahan saya menyadari bahwa perbedaan itu menyenangkan. Usia yang semakin
dewasa membuat saya lebih luwes menerima perbedaan.
Saya kini memahami
bahwa ternyata pada masa kanak-kanak saya, etnis Tionghoa masih saja dianggap
minoritas. Bisa jadi, itu efek pasca tragedi 1998. Saya sendiri tidak
benar-benar yakin.
Di semester 3
perkuliahan, di usia yang sudah cukup dewasa, saya memilih memeluk agama Islam, bukan karena ingin menjadi sama dengan teman lain atau karena takut dirundung,
namun karena memang pilihan hati yang terdalam. Awalnya saya tidak memberitahu
ayah saya, karena saya takut ia berpikir macam-macam. Ketika akhirnya saya
memutuskan memberitahu ayah dan ibu saya, mereka cukup bahagia, terlebih
setelah mengetahui motivasi saya memeluk Islam kini lebih jelas, tidak seperti
masa kanak-kanak dahulu.
Saat ini,
saya dan keluarga inti menganut agama yang sama. Orang yang tidak terlalu
mengenal saya mungkin akan menduga bahwa saya begitu saja mengikuti agama yang dianut
orang tua saya. Karenanya, saya cukup tergelitik dengan wacana “agama warisan”
yang diangkat Afi Nihaya di media sosial beberapa waktu lalu.
Menurut saya,
jika sejak kecil hingga kini seseorang menganut agama yang sama dengan orang
tuanya, saya meyakini bahwa agama itu adalah pilihannya, karena orang yang
bersangkutan sudah mengalami pergolakan batin dan dirinya meyakini bahwa apa
yang dia anut dan dia pilih adalah yang terbaik. Jika agama disebut warisan,
mungkin saya akan menganut agama Khonghucu seperti buyut-buyut dan leluhur saya
terdahulu.
Indonesia
negara yang kaya dan memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tetapi akhir-akhir
ini Indonesia diwacanakan menjadi negara yang memiliki satu agama saja. Ingat, mengapa
semboyan negara kita adalah Bhinneka Tunggal Ika; karena jelas bahwa leluhur
dan para pendiri negara ini sadar bahwa Indonesia didirikan atas dasar keanekaragaman
yang disatukan dalam satu komitmen, Indonesia.
Saya sedih
membayangkan bahwa hari ini, nanti, atau esok masih akan ada anak-anak lain
yang dirundung di sekolah karena memiliki agama yang berbeda, atau karena
berasal dari ras atau suku yang berbeda. Mereka dikatai “minoritas”!
Mari, ciptakan
suasana nyaman di negeri ini, karena kita adalah mayoritas. Jangan menyakiti
hati sesama kita dengan menganggap mereka sebagai “minoritas”.
Jangan memaksakan
semua orang sama, karena kita tidak seragam. Hargailah setiap perbedaan, karena
kita adalah manusia yang penuh dengan akal budi dan tahu bagaimana menyebarkan
cinta kasih pada sesama.
Saya
Indonesia, dan belum lama menjadi seorang muslim, ilmu saya masih sangat cetek.
Tapi saya tahu, Allah itu penuh kasih dan penuh ampunan. Lalu apa hak manusia
saling menghakimi satu sama lain?
Terlepas dari
hujatan yang pernah bergolak dalam hati saya di masa kecil dan masa lalu, kini
saya sadar bahwa ada banyak pelajaran baik yang bisa saya ambil. Tidak semua
orang bisa mengalami "dilematika" yang saya alami. Saya senang bisa
memilih kepercayaan yang saya anut dengan penuh perjuangan, meski untuk kesukuan
adalah hal yang sudah melekat.
Bagi saya
perbedaan itu adalah hal yang menyenangkan. Karena akan sangat membosankan jika
semua hal di dunia ini tercipta sama, cukup baju sekolah saja yang seragam,
selebihnya kita boleh berbeda dan beragam.
Juara 2 Festival Media AJI 2017
10 Besar Lasem Pluralism Trail 2017
Labels: blog, china, FesmedAJIIndependencompetition, festival media, independenid, indonesia, tionghoa